Picture
Sejak anak-anak, Sodrun memiliki berbagai kisah yang mendalam bagi kalbunya. Disamping dia suka baca buku, ibunya juga rajin membacakan berbagai cerita ketika si kecil Sodrun mau tidur. Salah satu carita yang Sodrun kenang adalah tentang ayam Jago dengan cacing.

Alkisah pada jaman hewan masih bisa berbicara, ada seekor ayam jago yang sangat gemar makan cacing. Setiap hari waktunya dihabiskan untuk mencari cacing sebanyak-banyaknya untuk kemudian ia makan sendiri sepuas-puasnya. Apabila ada temannya yang mencoba meminta apalagi mencuri cacing makanan kegemarannya, maka ia akan segera melabrak dan nothol temannya itu dengan sak galak-galaknya.

Karena begitu berharganya cacing bagi si Jago, maka semua ilmu yang dia dapatkan sejak dari dia sekolah TK ayam sampai universitas ayam dikerahkan untuk memuaskan gairahnya kepada perburuan cacing itu. Si Jago hafal betul jenis-jenis cacing dan rasanya masing-masing, serta di daerah macam apa cacing-cacing itu hidup.

Begitupun, tenaga dan segenap waktu luangnya selalu didayagunakan untuk urusan cacing ini. Nggak ada waktu, tenaga apalagi biaya untuk sekedar mikirin ayam lain, nolongin ayam lain atau ngurusin pengajian ayam di kampungnya. Sesuai dengan ngelmu Yahudi yang dia dapat di sekolahan, waktu dan modal itu harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk menambah kapital mencari cacing, jadi eman-eman kalo dipake ngurusin perkara tidak produktif apalagi mbantuin ayam kere yang menurut dia karena pemalas. Baginya, seperti semboyan kapitalisme time is money, si Jago berprinsip “time, resources and opportunity adalah cacing, cacing dan cacing!” Sebodo amat kalo ada ayam lain yang miskin, pengajian yang macet, negara yang bangkrut lah, kagak ada urusan!. Yang penting perut gua sendiri beres, dapat cacing yang lezat… habis perkara!.

Saking semangatnya sang Jago mencari cacing, ia sering tidak peduli kalo harus mengais-ngais tempat sampah yang baunya ledring, mengorek-orek comberan yang joroknya setan saja mungkin ogah mendekati, atau bahkan rela nungguin kalo ada orang buang hajat sembarangan di kebun untuk kemudian dia cari cacing disela-sela kotoran yang sudah dibuang orang itu. Maklum, barangkali menurut pengalamannya cacing yang hidup di benda begituan terasa lebih gurih dibanding cacing yang hidup di daerah agak-agak bersih.

Suatu saat, tatkala sang Jago sedang mengorek-orek comberan dekat kandang sapi, seekor merpati putih mendekati sang Jago. Kawatir si merpati akan mengambil lahannya mencari cacing, sang Jago bersiap jurus mathol agar si merpati terbang menjauh. Akan tetapi sang merpati tersenyum dan menyapa ramah: “Jago, aku tidak hendak mengambil cacingmu…”

Sambil masih curiga, sang Jago menginterogasi sang merpati.

“Siapa kamu, dari mana asalmu dan ngapain kamu kemari segala…!”, tukas si Jago galak.

Sang merpati menjawab santun, “Kenalkan… aku merpati putih”.

Si merpati kemudian menjelaskan kalau dia barusan terbang dari sorga dan melihat betapa indahnya sorga. Dia menjelaskan sorga dipenuhi oleh taman-taman yang tertata rapi, air jernih yang mengalir, udara yang sejuk nan nyaman, dan semua kesenangan lainnya tersedia dengan lengkapnya.

Diakhir ceritanya, sang merpati berkata, “…Aku kemari karena aku ingin ngajak kamu terbang kesana bersamaku…”.

Nampaknya keinginan sang merpati mengajak si Jago karena dia merasa simpati atas ngoyonya sang Jago mencari cacing. “Aku kasihan kamu sepanjang hari bersusah-payah terus mencari cacing…” ujar si merpati lembut.

Sesaat sang Jago termangu akan keterangan si merpati. Terbersit juga rasa minat dihatinya untuk berkunjung ke sorga dan merasakan keindahan yang ada di sana. Akan tetapi sang Jago, karena sudah mateng dengan ilmu filsafat dialektika yang ia pelajari di universitas dan kelompok diskusi, tentu tidak mau menerima cerita sang merpati begitu saja.

“Sebentar, sebentar…. di sorga nanti ada cacing, nggak?”, tanya sang Jago kritis.

Si merpati menjawab dengan jujur, “Wah, kalo cacing kayaknya nggak ada, tuh!”, kata si merpati agak menyesal.

“Habis…” ujar si merpati menambahkan, “di sorga tak ada comberan kayak ginian!…”. Dia menjelaskan semua apa yang ada di sorga itu bersih, berbau harum, dan tertata rapi. Tak ada tempat untuk yang mengandung KJB (kumal jorok dan busuk).

“Waduuh,… kalo begitu…” si Jago menyimpulkan, “saya nggak bersedia pergi ke sorga ah…”.

“Kenapa…?”, tanya si merpati sedih.

“Habis disorga kagak ada cacing, sih!….” cetus si Jago mantap.

Merpati tertunduk lesu seraya bergumam, “Ah Jago,…. hanya gara-gara cacing di comberan aja kamu enggan masuk sorga…”.

Sampai sekarang, Sodrun sering berfikir: kasihan bener ya, kalo ada ayam kayak si Jago ini?




Leave a Reply.

    Supported by:

    Temukan teman di:

    Diskusi

    Archives

    February 2013
    January 2013
    December 2012

    Blog Hits

    Menuju Blog ku klik: